Aku duduk termenung di tempat
tidurku. Mataku memandangi foto keluarga yang tergantung di dinding kamar. Di
foto itu ada aku, mama, dan juga papaku. Aku adalah anak semata wayang mereka.
Mama dan papaku sangat menyayangi aku. Mereka sangat peduli tentang masa
depanku. Pernah suatu kali, mama menanyakan cita-citaku. Saat itu, aku masih
duduk di bangku TK. Aku menggelengkan kepala saat itu. Aku tidak pernah
mempermasalahkan mau jadi apa aku nanti. Saat itu juga aku belum tau, apa itu
cita-cita. Mama bertanya lagi “ Alyssa,Sayang..Besar nanti, Alyssa mau jadi
apa? ”. Aku tetap saja menggelengkan kepala. Mama tersenyum lalu mencium
keningku.
Sampai
detik ini, aku belum tahu apa cita-citaku. Padahal aku sering mendengar
teman-temanku berceloteh tentang cita-cita mereka. Ada yang ingin jadi dokter,
polwan, guru, pengusaha, pejabat, dan sebagainya. Tetapi aku tetap saja tidak
tertarik dengan profesi yang mereka inginkan untuk masa depan teman-temanku
itu. Aku mencoba mencari tahu apa yang aku inginkan. Sampai akhirnya aku
ketiduran di kasurku yang nyaman.
***
Bel
masuk sekolah sudah berbunyi. Aku baru saja sampai didepan gerbang sekolahku.
Aku berlari-lari menuju kelasku. Hmmmsss,
untung saja belum ada guru. Aku segera duduk di bangku dan cepat-cepat membuka
buku pelajaran pagi ini.
Teman sebangku aku, Gita berkata
“Lys, katanya materi pelajaran bahasa Indonesia sekarang membuat karangan
tentang cita-cita”. Mataku membulat.
“Cita-cita
lagi, cita-cita lagi” Batinku.
Benar
saja, Miss Febby menugaskan murid kelas
5.A ini membuat karangan tentang cita-cita. Aku bingung sekali, apa yang akan
aku tulis? Aku saja belum tahu apa cita-citaku. Tugas ini harus sudah di
kumpulkan besok pagi pula. Aku mencoba untuk melirik cita-cita beberapa
temanku, tetapi tetap saja aku masih belum pasti menentukan cita-cita yang
menurutku tepat.
Sepulang
sekolah. Di kamar, dengan berbekal buku tulis dan pena aku memaksakan diri
untuk menulis karangan. Sebelum itu, tentu saja aku harus punya bahan yang akan
aku tulis. Aku mencoba melihat profesi para orang tua temanku. Tapi masih juga
aku belum dapat bahan karangan yang pas. Hingga akhirnya, aku menyalakan
televisi yang berada di dinding kamarku. Siapa tahu aku mendapatkan ide untuk
memulai karangan. Tayangan yang aku tonton sekarang membahas salah satu hobiku,
yakni melukis. Saat itu juga, aku terinspirasi untuk menjadi pelukis hebat
seperti para pelukis yang sudah terkenal di dunia.
Aku
menuliskan karangan dengan tema cita-citaku sebagai pelukis. Aku merasa bangga
dengan cita-cita yang aku pilih ini. Ternyata, dari sebuah hobi yang sangat aku
senangi ini bisa menghasilkan dolar dari hasil penjualan lukisan. Aku
bersemangat menulis karangan ini. Sampai-sampai aku belum makan siang.
Keesokan
harinya, dari langkah pertama menginjakkan kaki ke sekolah sampai berada
dikelas, aku tak bisa menyembunyikan wajah senangku.
Temanku Gita bertanya, “ Kamu udah,
Lyss, karangannya?”
Dengan senyum mengembang, aku
berkata “ Pasti dong”.
Ia menatapku heran. “Apa cita-citamu dalam
karangan itu ?” Lanjutnya.
Dengan bangga, aku berkata “
Cita-citaku men jadi pelukis hebat di dunia”. Ia bengong menatapku.k
“Kamu nggak salah pilih, Lyss?”
“Kenapa kamu meragukanku ?” Aku
balik tanya.
“Tidak, aku tidak meragukanmu. Tapi
apa nggak ada cita-cita lain yang lebih baik selain pelukis?Kamu kan anak yang cerdas disegala bidang. Kamu multitalenta, Lyss. Ya setidaknya dokter, begitu?”. Jawabnya.
“ Cita-citaku ingin menjadi
pelukis, TITIK” Jawabku sedikit kesal dengannya. Memangnya apa yang salah dari
cita-citaku? Akulah yang menjalankan hidupku. Aku juga yang menentukan sendiri
, mau menjadi apa aku dimasa depan.
Sekarang saatnya para murid maju
kedepan untuk membacakan hasil karangannya. Dari beberapa teman yang bercerita,
kebanyakan mereka ingin menjadi dokter, pilot, pramugari, dan pekerjaan lain
yang terlihat berkelas. Saat giliran aku maju, mereka yang mendengar apa yang
aku baca menatapku heran, kecuali Miss Febby. Ia tersenyum sepanjang aku
membacakan hasil karanganku.
Sepulang sekolah, aku melihat Mama
duduk di depan televisi. Aku langsung menghampiri mama dan duduk di sebelahnya.
Dan aku menceritakan apa yang aku alami disekolah tadi pagi.
“ Ma, memangnya salah ya kalau aku
ingin menjadi pelukis?” Tanyaku pada Mama.
“Mama baru dengar apa cita-cita
kamu. Cita-cita kamu menjadi pelukis?” Tanya Mama. Aku mengangguk. Ia
menatapku.
“ Sayang, Kenapa kamu memilih untuk
menjadi pelukis? Apa tidak ada yang lain yang menurut Alyssa lebih baik?” Tanya
Mama. Aku sedikit kecewa Mama bertanya seperti itu.
“Mama, Alyssa ingin menjadi pelukis
terhebat di dunia. Apa Mama melarangku jika cita-citaku menjadi seorang
pelukis?”Tanyaku.
“Bukannya Mama melarang, sayang.
Tetapi Mama dan papa menginginkan Alyssa menjadi seorang dokter.”Jawab Mama.
Aku
langsung berlari ke kamarku. Aku heran, kenapa tidak ada yang mendukung cita-citaku? Ahh, apa pelukis itu pekerjaan
yang tidak menjanjikan? Menurut aku, pelukis itu sangat menjanjikan di masa
depan
****
Teman-temanku
memandangi papan mading. Aku yang penasaran menerobos begitu saja. Tertulis
pada sebuah kertas bahwa penerbit terkenal di kotaku mengadakan sebuah event
perlombaan. Perlombaan itu antara lain menulis cerpen, fotografer, dan melukis. Yeayy, ada lomba melukis. Aku senang
mendapat kabar ini. Aku akan membuktikan bahwa cita-citaku ini bukanlah
cita-cita biasa. Aku akan buktikan, bahwa aku bisa dan aku harus bisa.
Aku
berlari semangat kekelas. Dan tersenyum penuh kebahagiaan sampai-sampai
mengagetkan Gita yang sedang serius membaca buku. Aku segera mendudukkan badan.
“Git,
kamu tau kalau akan ada lomba melukis?”Tanyaku sumringah. Diiringi senyuman
lebar.
Ia
menggeleng. “Memangnya ada apa? Terus kok kamu kelihatan senang
begitu?”Tanyanya balik.
“Aku
bakalan ikut lomba itu!”Kataku semangat sambil menggebrak meja yang ada
didepanku. Gita tersentak. Mungkin ia kaget mendengar pukulanku yang keras.
“Hmsss,,,kamu
yakin Lyss?”
“Tentu”Ujarku
tersenyum.
“Kalau
begitu, sebagai teman aku hanya bisa menyemangatimu. Semoga kamu juara ya”Gita
tersenyum.
Gebrakan
dimeja kembali terulang. Namun kali ini bukan aku yang menggebrakannya. Angel
sudah berdiri berkacak pinggang. Disamping kirinya ada putri dan dikanannya
berdiri Desi. Ketiganya menyombongkan wajah.
“Kamu
nggak bakalan menang Lyss, Putri yang bakalan menang. Dia yang juara bukan
kamu!” Ujar Angel, ketua geng. Ia megibaskan rambutnya yang terurai panjang dan
wangi.
“Iya,
Putri yang bakalan menang. Dia lebih jago dari kamu” Kali ini Desi bicara. Ia
memoncongkan mulutnya. Sementara Putri hanya terdiam memandangi kedua teman
dekatnya itu menyombongkan diri. Mereka lalu beranjak pergi mengikuti sang
ketua geng, Angel. Dalam hati aku bersumpah akan mematahkan omongan mereka dan
membuktikan kepada mereka dan semuanya bahwa aku bisa dan layak menjadi juara.
Hari
yang kutunggu-tunggu tiba. Disebuah aula yang berada disebelah kantor penerbit
itu, puluhan peserta lomba melukis berkumpul. Masing-masing disediakan kursi.
Sementara untuk alat-alat lukis, kami harus membawa sendiri. Aku lewati tiga
jam waktu yang disediakan ini dengan sebaik-baiknya. Setelah itu, aku hanya
bisa berdo’a untuk hasilnya yang akan diumumkan sore harinya.
Pukul
16.00, acara penutupan event sekaligus pengumuman juara dimulai. Beberapa
rangkaian acara telah dilewati dan acara telah resmi ditutup. Sekarang, saatnya
pengumuman juara. Satu persatu nama pemenang dibacakan.
“Juara 1
lomba menulis cerpen adalah…”Pembawa acara menguasai kami, membuat yang
mendengar dag dig dug.
“Aumi
Gita Nindyara” Kata sang pembawa acara.
Nama
yang kukenal. Gita, temanku juara satu lomba menulis cerpen. Tak kusangka, dia
ternyata cukup pandai menulis cerpen sehingga bisa memenangkan lomba itu. Dari
jauh, aku lihat Gita dan orang yang namanya tersebut tadi naik keatas podium.
Menerima trofi dan sertifikat beserta bingkisan dan tak lupa uang pembinaan.
Selanjutnya
tibalah pembacaan juara lomba melukis. Aku semakin tak karuan. Antara takut,
ragu, yakin dan juga tak yakin. Sainganku berat. Dan aku lihat lukisan dari
peserta lomba melukis yang lainnya bagus-bagus. Apakah aku bisa membuktikan
kepada semua orang bahwa aku bisa dan aku akan membuktikan bahwa aku
sungguh-sungguh dengan cita-citaku ini?
“Juara 3
lomba melukis diraih oleh Renita yuliani”
“Juara 2
diraih oleh Putri kayla wijaya”
Putri,
dia dapat juara 2. Aku semakin ciut. Dia saja juara 2. Bagaimana dengan aku?
Mungkin aku harus menerima kenyataan. Mungkin benar apa kata Desi beberapa hari
yang lalu bahwa lukisan Putri itu lebih
baik dariku. Ya Tuhan, akankah ada keajaiban?
“Dan,
juara 1 lomba melukis diraih oleh………..”Pembawa acara kembali membuat seisi
ruangan tegang. Terlebih bagi para peserta lomba melukis. Semua peserta tentu
berharap namanya disebut sebentar lagi. Walau kemungkinannya sangat kecil.
“Juara 1
lomba melukis diraih oleh Alyssa Shofie Dinara”
Aku
terlonjak kaget. Antara percaya dan tidak percaya. Hingga aku akhirnya tersadar
setelah sang pembawa acara mempersilahkan nama yang tersebut untuk maju. Ini
real. Aku juara 1 lomba melukis. Aku melangkah naik ke podium. Direktur
penerbit menyalamiku sambil memberi sebuah trofi yang tingginya mencapai 50 cm,
ia juga memberikanku sebuah sertifikat yang juga disertai sebuah bingkisan dan
tentunya uang pembinaan. Rasanya ini seperti mimpi.
“Selamat
ya Lyss” Ujar Gita menyalamiku setelah aku turun dari podium.
“Ia,
terima kasih banyak. Kamu juga, Git. Ternyata temanku ini pandai menulis cerpen
ya?”Balasku.
“Ah,
biasa saja. Aku malah kagum sama kamu, Lyss” Aku tersenyum.
“Selamat
ya Lyss, kamu hebat” Ujar Putri yang tiba-tiba menghampiri kami. Ia mengulurkan
tangan.
“Iya,
terima kasih. Kamu juga selamat ya” Balasku menanggapi uluran tangannya.
“Iya.
Hmss,, masalah kemarin hari, aku sama teman-teman minta maaf ya”Ujarnya.
“Oh,
iya. Tenang saja, sudah aku maafkan kok” Aku tersenyum.
*****
Aku
pulang dengan perasaan bahagia. Aku akan memberikan kejutan pada mama dan
papaku dengan kedatanganku ini. Semoga mereka senang dan akhirnya mendukungku
meraih cita-citaku sebagai pelukis.
Tok tok tok
Aku
mengetuk pintu. Pintu terbuka.
“Assalamu’alaikum
Ma”Aku salim.
“Wa’alaikumussalam”
Ia
menatap trofiku heran. “Apa itu? Kamu habis kemana saja, sayang?Mama khawatir
kamu pergi tanpa pamit begitu. Tadinya mama mau lapor polisi kalau kamu belum
pulang juga sampai malam”
“Ah,
mama lebay deh mau lapor polisi segala. Ini trofi juara 1 lomba melukis,
Ma.”Jawabku.
“Lomba
melukis?”
“Iya,
Ma. Jadi, tadi pagi Alyssa pergi ke acara yang diadain salah satu penerbit. Dan
Alyssa ikut lomba melukis, Ma. Dan Alhamdulillah Alyssa berhasil menjadi juara
1. Mama nggak marah kan?”
“Iya
enggaklah sayang, tapi lain kali kalau mau pergi pamit dulu ya. Mama khawatir
kalau ada apa-apa sama kamu. Tapi, kalau mau ikut lomba kenapa nggak bilang
mama?Kan mama bisa nemani kamu dan bisa ngasih semangat?”Mama memburuku dengan
pertanyaan.
“Aku
takut kalau mama melarangku ikut lomba melukis. Bukankah mama lebih senang
kalau Alyssa jadi seorang dokter?”
“Alyssa
sayang, mama memang lebih senang kalau kamu jadi dokter. Tapi mama nggak bisa
melarang apa yang Alyssa cita-citakan. Mama akan selalu mendukung apa yang
Alyssa inginkan selama itu baik bagi Alyssa”Ujar mama. Ini melegakan hatiku.
“Lalu,
bagaimana dengan papa?”Tanyaku takut.
“Papa
juga akan selalu mendukung Alyssa selama itu baik”
“Terima
kasih ya, Ma” Aku memeluk mamaku.
******
Aku
terburu- buru menuruni tangga. Aku berlari kearah papa dan mama yang sedang
menonton televisi dilantai bawah. Lalu aku segera duduk disamping mereka.
“Pa,
Ma,,,dengerin Alyssa ya…Mulai sekarang, Alyssa akan belajar lebih rajin lagi
supaya Alyssa bisa meraih cita-cita Alyssa sebagai seorang dokter yang pandai
melukis”
Papa dan
mama memandangku refleks. Mereka mungkin tidak percaya.
“Kamu
serius mau jadi dokter, sayang? Papa nggak maksa kamu harus jadi dokter
kok”Ujar papa sangsi.
“Iya,
Pa. Alyssa pengen jadi dokter supaya bisa mengobati orang-orang. Alyssa bakalan
jadi dokter hebat yang punya rumah sakit gratis buat yang tidak mampu. Nanti
Alyssa hias rumah sakitnya sama lukisan-lukisan para anak bangsa yang sukarela
diberikan untuk dipajang dirumah sakit itu.Keren kan, pa?” Ujarku tersenyum.
Papa dan
mama langsung memelukku. Aku bahagia sekali berada dipelukan mereka. Aku juga
berjanji akan meraih cita-citaku dengan sebaik-baiknya. Pa, Ma, do’akan aku ya.
Aku janji, pa, ma….
~THE
END~
0 komentar :
Posting Komentar